Melawan Kemajuan Jaman: Resisten pada Ide Baru

Masim “Vavai” Sugianto
4 min readFeb 10, 2023

--

Saya beberapa kali melihat orang yang berusaha melawan kemajuan dan perkembangan jaman. Sikapnya cenderung menolak atau menganggap remeh hal baru. Mencari sisi lemah atau hal negatif dari hal baru itu.

Contohnya seperti ini. Jika kita berlatar belakang IT, kita tahu salah satu teknologi terbaru adalah kemajuan dibidang artificial intelligence. Kecerdasan buatan. Salah satu yang fenomenal adalah ChatGPT dari OpenAI.

Kita bisa bertanya banyak hal pada chatGPT dan mendapat jawaban. Kita bisa bertanya mengenai saran persiapan pensiun, tips menanam tanaman tertentu, tanya penyelesaian soal matematika, tanya mengenai apa itu abstrak, bagaimana cara membuat abstrak hingga minta contoh coding berbasis bahasa pemrogramman tertentu.

Bagi kita yang berpikiran lurus-lurus saja, respon saat menggunakan chatGPT adalah : “Luar biasa teknologinya. Sudah maju sekali. Punya potensi pengembangan luar biasa”

Tapi bagi kita yang menolak kemajuan jaman, responnya adalah : “ChatGPT nggak bagus-bagus amat. Masih banyak salah. Jauh lah dibandingkan dengan Google. Hati-hati kadang chatGPT salah ngasih jawaban soal matematika. Kadang sarannya juga bisa menjerumuskan. bla-bla-bla…”

Pertama, dibandingkan Google yang lahir lebih dari 20 tahun yang lalu dengan ChatGPT yang masih bayi tentu jelas jauh berbeda. Itupun seharusnya bikin Google ketar-ketir, karena kemampuan ChatGPT luar biasa sekali untuk ukuran teknologi yang masih bayi. Coba saja bandingkan kemampuan Google translate dengan ChatGPT.

Saat dulu saya membiasakan menulis dalam bahasa Inggris, saya berusaha menulis langsung dan kadang buntu karena bingung mengolah kata dan kalimatnya. Akhirnya saya minta bantuan Google translate. Hasil dari Google translate saya kirim ke grammarly, setelah itu baru dipublikasikan.

Dengan chatGPT, saya cukup copy paste tulisan kemudian dikasih keterangan : “Hei chatGPT, please translate it…”. ChatGPT langsung menerjemahkan tulisan tersebut ke versi bahasa Inggris yang lebih luwes dibandingkan dengan hasil translate manual.

Jika tulisannya masih terlalu pendek, saya bilang lagi : “Hi chatGPT, please continue this essay”, dan chatGPT akan menuliskan lanjutan tulisan tersebut dengan pilihan bahasa dan topik yang beragam.

Setelah jadi, saya bilang sama chatGPT : “Please give me an intriguing or a click-bait title for following essay” dan chatGPT memberikan beberapa pilihan judul yang menarik untuk dibaca.

Kesalahan terbesar seseorang dalam menyikapi perubahan dan kemajuan jaman adalah asumsi kita menelan mentah-mentah perkembangan dan kemajuan jaman itu. Sebagai contoh, seolah-olah saya menyandarkan seluruh pekerjaan penulisan saya pada chatGPT. Mulai dari pemilihan topik, tema, isi hingga judul. Seolah-olah saya langsung copy paste seluruh isi.

Padahal namanya alat itu digunakan untuk membantu pekerjaan. Bukan untuk menggantikan pekerjaan sepenuhnya. Saya menggunakan chatGPT untuk memberikan saya ide, arahan dan kerangka penulisan maupun contoh penulisannya. Setelah itu saya akan review apakah sudah cukup baik atau masih memerlukan perubahan dan polesan. Jika sudah cukup baik baru saya publikasikan.

Saat saya meminta saran mengenai judul paper, abstrak dan lain-lain, saya tidak menelannya mentah-mentah. Saya melakukan validasi ulang apakah contoh abstrak proposal jurnal ilmiah yang saya buat sudah mencerminkan background, objective, methodology dan expected result?

Saat ada teknologi motor dan mobil listrik, orang yang skeptis akan mencari berbagai celah kelemahan.

“Mobil listrik itu jarak tempuhnya pendek. Repot. Lebih enak mobil bensin atau solar karena jarak tempuhnya jauh”.

“Mobil listrik itu nggak keren. Bentuknya aneh”

“Mobil listrik itu bahaya, gimana kalau banjir nanti kita kesetrum. Gimana kalau baterenya panas nanti meledak. Gimana kalau nanti mogok, kita nggak bisa perbaiki di bengkel biasa”.

Melulu mencari salah dan celah kelemahan. Kritis tentu saja boleh, namun jangan lantas membuat kita jadi buta terhadap peluang dan potensi yang ada. Jarak tempuh mobil listrik awalnya tidak jauh. Namun saat ini sudah bisa mencapai 400 km. Bahkan sudah ada yang lebih.

Source : researchgate
Source : InsideEVs

Dulu perlu waktu hampir semalaman untuk charge mobil listrik, sekarang hanya butuh waktu beberapa jam saja. Makin lama teknologi makin maju dan berkembang. Terus ada perbaikan sehingga apa yang kita kritisi dimasa kini bisa jadi tidak butuh waktu lama sudah tidak relevan lagi.

Jika bapak mertua saya skeptis pada mobil listrik, itu masih bisa dimaklumi karena selain pertimbangan usia, bapak mertua saya juga bertahun-tahun bekerja di Mitsubishi, menangani mobil bensin atau solar dan terbiasa pada kemampuan dan pemeliharaan mobil BBM. Namun jika kita yang masih muda dan lebih banyak terpapar pada informasi luas masih juga menutup diri dari peluang kemajuan jaman, ada kemungkinan kita terlalu takut menghadapi perubahan.

Tidak semua peluang kemajuan memang selalu berhasil. Tidak semua hal baru juga bermanfaat. Meski demikian, tiap kali ada teknologi dan perkembangan baru, langkah terbaik yang bisa kita lakukan adalah menyikapinya dengan pikiran terbuka. Jika perlu, kita riding the technology. Kita menjadi subyek, menjadi pelaku atau menjadi pengendara teknologi baru. Kita “riding the technology”, bukan menjadi korban teknologi.

Originally published at https://www.vavai.com on February 10, 2023.

--

--

Masim “Vavai” Sugianto
Masim “Vavai” Sugianto

Written by Masim “Vavai” Sugianto

Traveller, Open Source Enthusiast & Book Lover. Works as Independent Worker & Self-Employer. https://www.excellent.co.id #BisnisHavingFun https://www.vavai.com

Responses (1)