Meningkatkan Nilai Tambah & Daya Tarik
Originally published at Masim Vavai Sugianto.
Saya tertarik memperhatikan kebiasaan beberapa rekan di group Komunitas Petani Pisang di Facebook. Ada yang tanya jenis pohon pisang (saya juga pernah), tanya harga (Harus menyadari bahwa harga di daerah bisa berbeda dengan di ibu kota, harga di pulau Jawa bisa berbeda dengan di luar pulau Jawa). Salah satu posting yang cukup banyak dan tiap hari selalu ada, adalah posting yang menjual bibit pohon pisang.
Sebagian besar rekan-rekan yang menjual bibit pisang melakukan posting foto. Ada juga mencantumkan list jenis bibit ditambah no HP untuk kontak via WA. Sebagian lagi terlalu lelah untuk menulis ulang sehingga memforward posting yang sama ke berbagai group.
Dari sudut pandang saya sebagai orang yang pernah membeli bibit, hal seperti itu masih bisa ditingkatkan dan diperbaiki kualitasnya. Saya tidak katakan salah, karena kan nyatanya ada yang beli dan sudah berjalan juga kok.
Bicara bisnis yang sustain (bertahan lama dan berkembang) menurut saya harus mengacu pada nilai tambah. Nilai tambah apa yang bisa diberikan pada calon pembeli.
Bibit pisang Fhia 17 yang ditanam dari bonggol. Ditanam di kebun Zeze Zahra di Batujaya Karawang.
Kalau kita menjual bibit dengan cara sekedar ikutan, hasilnya juga mungkin akan ikutan saja. Bagaimana caranya saya atau calon pembeli lain bisa membedakan penjual yang berkompeten dengan yang tidak, dengan cara yang mudah, itu bisa menjadi masukan sebagai titik awal perbaikan kualitas.
Saran saya yang pertama, jangan asal forward. Biarlah cape sedikit memposting ulang, daripada posting di group Komunitas XXX diforward ke group ini. Kesannya jadi kurang niat. Pilih foto yang bagus, jangan foto asal. Tidak harus pakai kamera atau HP mahal. Perhatikan angle pengambilan fotonya. Kalau perlu minta bantuan teman buat fotokan.
Saran kedua, pilih bibit yang terbaik untuk difoto. Kirim juga bibit terbaik sesuai foto. Jangan bagus difoto tapi saat dikirim kualitasnya menyedihkan.
Jualan bibit mungkin margin atau keuntungannya tidak besar. Sama, jualan pisang juga marginnya tidak besar. Meski tidak besar, kalau ditekuni akan besar juga.
Saran ketiga, lengkapi fotonya. Jangan sekedar bibit kecil-bibit bonggol dan bibit dongkelan. Lengkapi dengan foto contph saat bibit sudah mulai ditanam. Lebih bagus lagi jika ada foto contoh bibit yang pohonnya sudah besar dan sudah berbuah.
Jika perlu, siapkan lahan khusus untuk membesarkan bibit. Jadi calon pembeli bisa tahu kualitas bibitnya. Kalau tidak punya lahan luas, lahan beberapa meter persegi juga tidak apa-apa sebagai sample. Sebagai contoh. Kalau tidak ada kebun khusus, rawat pohon yang biasa digunakan sebagai indukan sebaik mungkin. Agar anakannya sehat dan bagus, menarik juga saat difoto
Saran keempat, belajar story telling dan soft selling. Jangan sekedar, “Ayo siapa yang mau beli bibit. WA ke nomor XXXXXX”. Coba analogikan dengan diri kita sendiri. Kita didatangi orang yang belum kenal dan belum apa-apa dia langsung menawarkan sesuatu. Mungkin saja kita mau tapi besar kemungkinan kita merasa terganggu.
Apa itu story telling. Story telling itu menulis posting seperti kita bercerita pada teman. Jadi pembaca cerita atau posting kita merasa terlibat. Merasa jadi partner, hanyut dalam cerita.
Apa itu soft selling. Soft selling itu menjual secara halus. Tidak kentara menjual. Kalau hard selling, “Ayo beli bibit saya…” sedangkan soft selling lebih santuy. Dia bercerita tentang kebiasaannya saat pagi memeriksa kebun. Saat menyiram dan memupuk tanaman. Saat membersihkan lahan. Lahan apa? Tanaman apa? Lahan pisang tanaman pisang bibit pisang.
Soft selling digabung dengan story telling juga bisa. Misalnya cerita, “Saya pernah salah dan tertipu membeli bibit pisang. Sudah menunggu 1 tahun, eh saat berbuah ternyata pisangnya lain. Hal itu mendorong saya untuk lebih selektif dalam memilih bibit. Itu juga yang mendasari saya menyiapkan bibit sendiri dari indukan berkualitas yang dirawat bagai anak sendiri. Bagi rekan-rekan yang berminat bisa juga mendapatkan bibit ini melalui xxxx… dan seterusnya…””
Itu saja masih kurang soft tapi jauh lebih baik dari sekedar foto tanpa keterangan apa-apa. Kita bisa saja menulis soal tips memilih bibit pisang (misalnya memilih bibit dongkelan yang masih berdaun pedang, dengan bonggol besar, bentuknya seperti piramida dan seterusnya), tips merawat bibit, menyiapkan lubang tanam, menyiapkan pupuk dan lain-lain. Informasi itu bisa bermanfaat bagi pembaca dan bagi orang lain termasuk calon pembeli.
Kalau saya jadi calon pembeli, saya akan memprioritaskan pembelian pada orang yang merasa saya kenal dekat melalui tulisan atau foto, daripada pada orang yang tidak saya kenal sama sekali.
Saya ingat pengalaman saya membeli bibit pisang di group dan saya bandingkan dengan pengalaman saya membeli bibit tanaman buah dari pak Fathur Pamelo (Admin dan founder group Komunitas Petani Pisang). Saat sebelum dan sesudah menerima bibit tanaman buah, pak Fathur menginformasikan pada saya mengenai apa saja yang perlu disiapkan, tanah dan lubang tanamnya harus diapakan, mekanisme perawatannya seperti apa, agar mendapatkan hasil dan kualitas yang diinginkan. Informasi ini bermanfaat bagi saya agar bisa mendapatkan hasil sesuai harapan.
Saran kelima, buat catatan data pembeli dan jaga relasi. Pembeli yang berulang kali adalah pembeli yang harus dijaga. Pembeli yang gak pake ribet untuk pembayaran, yang cincai dan enak diajak komunikasi, itu dicatat dan diprioritaskan. Jangan lupa, pembeli itu malah punya kekuatan lebih, yaitu dia bisa jadi referensi buat yang lain.
Pembeli bisa punya foto bibit-bibit yang setelah ditanam ternyata hasilnya bagus sekali. Coba minta izin untuk dapatkan fotonya. Izin dapatkan suasana kebun dan tipsnya. Itu sangat berharga karena jadi proof of concept dari kualitas bibit yang kita jual.
Kadang sebagai penjual, kita salah mengejar capung (ini analogi kejauhan hehehe, saya pas inget capung). Maksudnya begini. Kita sampai susah payah mencari pembeli macam-macam, sedangkan pembeli yang bagus malah diabaikan. Tidak dimaintain, tidak dirawat komunikasi dan relasinya. Tidak ditanyakan bagaimana kualitas bibitnya setelah ditanam. Tidak ditanyakan apakah minat beli lagi atau tidak. Tidak ditanyakan, apa saja yang perlu diperbaiki dari produk dan layanan kita sebagai penjual.
Saran yang terakhir, usahakan untuk selalu memberikan bibit kualitas bagus pada pembeli. Jangan bibit asal cabut asal dongkel. Pembeli itu bukan orang bodoh yang manut saja diberikan bibit gak jelas. Iya dia akan terima tapi terpaksa dan tidak akan membeli kedua kalinya. Kalau berniat usaha dibidang bibit, mulailah menyisihkan modal dan tenaga untuk menyiapkan bibit-bibit bagus. Kerjasama dengan rekan lain disekitar juga tidak masalah. Keluar modal untuk ambil bibit berkualitas dari teman juga bukan suatu kerugian, sepanjang kita bisa dapat margin dan profit.
Kalau kita niat usaha, apapun jenis usahanya, usahakan sebaik-baiknya. Agar kita jadi mastering dibidang yang kita tekuni. Kalau kita punya produk berkualitas ditambah dengan belajar kemampuan story telling dan soft selling, pesanan yang datang tinggal menunggu waktu kok.