Tips Mental Spiritual Saat Terpapar Covid : Berusaha, Ikhlas, Mandiri, Tawakal

Masim “Vavai” Sugianto
7 min readJul 12, 2021

--

Originally published at Masim Vavai Sugianto.

Beberapa waktu belakangan banyak lingkup dekat saya yang terpapar covid. Sebagai survivor/penyintas covid, saya memanfaatkan pengalaman saya untuk membantu keluarga atau rekan-rekan agar bisa sembuh dari covid dengan cara dan prosedur yang benar. Selain aspek fisik dalam bentuk treatment pengobatan medis, aspek spiritual juga penting sekali untuk kesehatan mental, karena terpapar covid bisa mendera mental juga dan bisa memperlambat upaya penyembuhan atau malah memperburuk keadaan.

Apa saja tips mental spiritual yang bisa membantu penyembuhan, berdasarkan pengalaman pribadi? Berikut adalah beberapa diantaranya :

I. Berusaha Secara Maksimal dan Optimal

Saat mengetahui diri atau keluarga ada yang positif terpapar covid, lakukan usaha penyembuhan secara maksimal dan optimal. Cari tahu mekanisme pengobatannya. Pelajari prosedur yang benar untuk menyembuhkannya. Jangan apatis jangan merasa serba tidak tahu apa-apa.

Kta semua mungkin banyak tidak paham terkait covid, tapi bisa berusaha mencari tahu. Bisa bertanya pada para survivor atau penyintas covid, bisa juga bertanya pada dokter, tenaga kesehatan maupun konsultasi telemedicine secara online.

Banyak kejadian, pasien yang terpapar covid mengalami perburukan atau keterlambatan penanganan karena tidak mau dicheck swab/antigen dengan berbagai alasan. Ada yang takut jika tahu dirinya terpapar covid, ada yang takut dijauhi tetangga, ada juga yang takut langsung diangkut dibawa ke rumah sakit.

Banyak juga pasien yang melakukan isolasi mandiri mengalami perburukan karena hanya isolasi mandiri saja, diserahkan pada kekuatan badan untuk melawan covid, tanpa dibantu obat antivirus, vitamin, maupun suplemen lainnya. Jika kita berkonsultasi pada dokter, baik melalui aplikasi Telemedicine maupun konsultasi ke dokter langsung (atau melalui petugas Puskesmas), kita bisa mendapat rekomendasi obat apa saja yang sebaiknya dipersiapkan.

Saat pulang dari rumah sakit, 5 Januari 2021, sudah mulai pulih meski harus isolasi mandiri di rumah

II. Ikhlas

Berusaha ikhas adalah salah satu ikhtiar kesembuhan. Kadang begitu terpapar covid, kita bisa didera perasaan tidak menerima. Sudah vaksin, sudah menjaga protokol kesehatan secara ketat, sudah melindungi diri dan keluarga sebaik mungkin, kok masih bisa terpapar.

Namanya virus tidak kasat mata, kita tidak tahu sumber penularannya dari mana. Meski sudah berusaha semaksimal mungkin menjaga kesehatan, berarti memang takdir kita jika pada akhirnya terpapar.

Jika sudah terpapar, tidak usah menyesali apa yang sudah lalu. Untuk dijadikan sebagai pembelajaran tidak apa-apa tapi jangan untuk dijadikan sebagai penyesalan. Fokus kita adalah tindakan untuk menyembuhkannya. Salah satunya menerima ketetapan gusti Allah dengan hati ikhlas, berprasangka baik, mungkin kita diberikan kesempatan istirahat, rehat memulihkan kondisi badan yang sebelumnya memang membutuhkan istirahat.

Iklhas akan membawa kita pada kesabaran. Karantina dan isolasi mandiri itu berhari-hari dan akan terasa membosankan jika kita tidak ikhlas dan tidak sabar menjalaninya. Jalani saja proses kesembuhannya. Ada sebagian pasien covid hanya butuh beberapa hari untuk pemulihan, mungkin karena tanpa gejala atau gejala ringan. Ada lagi yang butuh beberapa minggu atau bulan untuk pemulihan, tidak apa-apa karena setiap orang memiliki kualitas kesehatan dan proses pemulihan yang berbeda.

Saat saya dan isteri terpapar covid akhir Desember 2020 dan dirawat di rumah sakit selama 2 minggu, isteri mengeluh di malam tahun baru.

“Pas malam tahun baru, eh malah menginap di rumah sakit…”

Saya sampaikan padanya, “Jangan mengeluh, masih bagus kita bisa dapat rumah sakit dan mendapat pelayanan yang baik. Kita bisa ditangani dengan cepat dan pelan-pelan bisa pulih kesehatannya”

Jadi jangan melulu menyesali apa yang tidak bisa kita lakukan melainkan memandang situasinya dari sudut pandang lain yang membuat kita bersyukur.

Bagi yang merasa bosan karena harus menjalani isolasi mandiri atau karantina, sebagai penyintas/survivor covid saya juga menjalaninya. 1 minggu isolasi mandiri di rumah, 2 minggu di rumah sakit, 1 bulan di rumah setelah pulang dari rumah sakit ditambah 2 bulan efek long covid (badan kalau malam kerap demam, mandi pagi kerap mengigil, kerap keluar keringat dingin dan mudah lelah jika berolahraga atau melakukan kegiatan). Jadi secara total saya menjalani pemulihan selama 3 bulan dan 7x swab PCR sampai akhirnya bisa menjalani aktivitas sebagaimana biasa.

III. Mandiri

Saat kita sakit, apalagi jika gejalanya cukup berat, kita akan memerlukan bantuan keluarga atau pihak lain. Mulai dari membelikan obat, membeli suplemen, makanan, buah hingga memesan barang keperluan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, bantuan dari pihak lain akan sangat berharga.

Namun kita perlu menyadari bahwa covid adalah penyakit menular dan varian-varian baru lebih menular daripada varian sebelumnya. Kita tidak boleh egois, minta dibantu keluarga atau pihak lain dengan resiko mereka ikut terpapar. Jadi meski kita memerlukan bantuan, sedapat mungkin kita menjaga agar mereka tidak terpapar.

Saat kondisi kita bergejala dan bangun dari tempat tidur saja butuh perjuangan, bantuan dari keluarga atau dari pihak lain mutlak diperlukan. Saat kita sudah mulai bisa beraktivitas ringan, kita bisa usahakan agar persentase bantuan bisa turun dari porsi sebelumnya.

Misalnya saat awal kita sakit dengan gejala, mungkin persentase bantuan mencapai 90%, kita hanya bisa melakukan 10% kegiatan. Seiring waktu, jika kondisi kita membaik, mungkin porsi bantuan turun menjadi 80%, 70%, 60% dan seterusnya sampai kita bisa pulih dan bisa beraktivitas lancar tanpa bantuan pihak lain.

Saya termasuk beruntung karena punya keluarga besar. Saat saya sakit, saya dikirimi masakan dari keluarga. Saya dibelikan sarapan, buah-buahan hingga makan malam oleh keponakan yang tinggal tidak jauh dari rumah saya. Saat di rumah sakit, beberapa staff Excellent mengirimkan makanan dan cemilan. Hal itu membuat saya senang dan jadi ketergantungan. Enak ya, kan diservis dan dilayani, mau makan apa tinggal bilang. Kepingin apa tinggal info.

Lama-lama saya introspeksi. Saya kok sakit menyusahkan orang lain. Meski keluarga saya melakukannya karena sayang sebagai sesama keluarga dan mereka khawatir pada kondisi saya, tidak sepantasnya juga saya memanfaatkan rasa sayang dan kebaikan hati itu terus menerus karena saya senang dilayani.

Jika awal-awal kondisi badan saya drop saya dibantu oleh keluarga dan teman, itu masuk akal dan patut disyukuri. Setelah kondisi saya mulai pulih, apalagi sudah pulang dari rumah sakit dan bisa mulai aktivitas ringan, sudah seharusnya jika saya lebih mandiri, agar keluarga dan rekan-rekan yang membantu bisa melakukan kegiatan mereka yang mungkin terganggu karena melayani saya. Untuk pesan makanan, saya bisa memesan via gofood atau memasak sendiri. Boleh saja masih dibantu, misalnya saya pernah dibuatkan sayur bening daun kelor dan ikan pisang-pisang/ikan ekor kuning masak tauco (ini makanan deja vu, dulu enyak sering masak), namun tidak lagi harus setiap hari. Bisa saja hanya seminggu 2x atau seminggu 1x.

Mencuci piring, gelas dan perlengkapan lainnya bisa kita lakukan sendiri. Saat saya awal masuk rumah sakit, perawat meminta saya jangan terlalu banyak aktivitas. Lebih hemat tenaga karena kondisi awal masuk cukup buruk. Nafas tersengal-sengal, mulut pahit, badan demam dan lemas. Namun setelah beberapa hari dan mulai pulih, perawat mendorong saya agar jangan tiduran terus. Saya diminta lebih banyak aktivitas. Kalaupun membaca buku atau main HP, diarahkan agar sambil duduk ditepi jendela, jadi bisa aktivitas berjalan dan berjemur sekalian.

IV. Tawakal

Orang terpapar covid kadang jadi baper. Jadi mellow. Keluarga yang lain sudah makan, terdengar piring dan sendok berdenting sedangkan kita belum ada makanan, jadi baper seolah-olah kita tidak diperhatikan, padahal mungkin sedang disiapkan makanannya.

Ada tetangga yang buru-buru menutup pintu atau jendela atau ngibrit masuk ke dalam rumah begitu melihat kita, kita jadi sewot dan menganggap mereka tidak empati. Salah-salah kita jadi kacau, malah menyumpahi mereka, “Coba kalau nanti kamu yang kena covid”. Lah kok malah mendoakan yang tidak baik pada orang lain.

Dicamkan ya, wajar orang takut terpapar covid. Wajar jika mereka melindungi anak, isteri dan keluarga mereka dari kemungkinan terpapar. Bahwa sikapnya terasa menusuk perasaan, kita harus maklum karena mungkin saja kita akan bersikap hal yang sama jika situasinya dibalik.

Tidak perlu kita mengecam orang lain yang dianggap tidak empati. Kita harus empati pada mereka yang takut terpapar. Harus maklum, harus memahami kekhawatiran mereka.

Setelah kita negatif covid, sembuh dan pulih seperti sedia kala, mungkin akan butuh waktu juga buat keluarga atau tetangga untuk bisa bergaul dan berinteraksi sebagaimana dulu. Maklumi saja, tidak usah menganggap keluarga atau tetangga tidak percaya kalau kita sudah sembuh.

Saat saya sembuh dari covid, butuh waktu beberapa minggu atau bulan hingga keluarga dan teman-teman mulai berinteraksi normal. Beberapa bulan dari kesembuhan, saya belum main ke rumah orang tua, sampai-sampai almarhum Baba (bapak) sempat bertanya, “Kok nggak main ke rumah”, hanya karena saya menjaga jangan sampai orang tua dan keluarga ada celah kemungkinan terpapar covid dari saya.

Saat saya terpapar covid, kios Aneka Pisang “Zeze Zahra” sempat sepi selama beberapa bulan. Para pembeli mungkin takut membeli pisang saat mendengar pemiliknya terpapar covid, meski yang sehari-hari menjaga kios bukan saya dan hampir sebulan sebelum saya terpapar saya tidak pernah ke kios. Menghadapi hal itu, yang bisa dilakukan adalah tetap menjalaninya sebagaimana biasa, tetap berjualan sebagaimana biasa, dengan menitik beratkan pada penjualan keliling dan tetap tawakal pada keadaan. Setelah beberapa lama, alhamdulillah penjualan pisang di kios Zeze Zahra berangsur normal sebagaimana mestinya.

Mudah-mudahan cerita dan pengalaman diatas bisa menjadi tambahan semangat bagi kesembuhan rekan-rekan yang diri atau keluarganya sedang terpapar. Jika ditangani sejak dini dan ditangani sebaik mungkin, insya Allah bisa sembuh. Prosesnya mungkin butuh waktu dan butuh kesabaran namun untuk kesembuhan dan kesehatan, seharusnya hal itu bukanlah hal yang sulit untuk dijalani.

Tetap semangat. No retreat no surrender.

--

--

Masim “Vavai” Sugianto
Masim “Vavai” Sugianto

Written by Masim “Vavai” Sugianto

Traveller, Open Source Enthusiast & Book Lover. Works as Independent Worker & Self-Employer. https://www.excellent.co.id #BisnisHavingFun https://www.vavai.com

No responses yet